Destinasi Cinta di Bawah Cahaya Rembulan
Karya: Clara Mutiara Hutasoit 9A/12
Di sebuah desa yang tersembunyi di antara lembah hijau yang subur, terdapat seorang wanita bernama Mahisa. Dia memiliki mata yang mengandung segala kebijaksanaan alam, dan setiap senyumannya menghangatkan hati seperti sinar matahari pagi.
Setiap pagi, Mahisa berjalan melalui ladang-ladang bunga yang berwarna-warni,dengan jubah putihnya mengembang seperti angin yang lembut. Suatu pagi yang berembun, saat bayangan pohon willow yang besar menari-nari di permukaan danau, matanya tertuju pada seorang pria yang duduk di bawah pohon itu.
Pria itu memiliki senyuman yang lembut seperti hembusan angin, dan matanya seolah-olah melihat ke dalam jiwanya. Mereka saling berpandangan sejenak, seolah-olah dunia berhenti berputar hanya untuk menyaksikan pertemuan mereka.
Pria itu, bernama Sangkara, adalah seorang penyair yang mencari inspirasi dalam alam. Dia sering mengunjungi danau ini untuk menuliskan puisi-puisi tentang keindahan yang ada di sekitarnya. Mahisa di sisi lain, adalah seorang pengrajin yang mengubah bunga-bunga menjadi mahakarya anyaman yang menakjubkan.
Mereka sering bertemu di bawah pohon willow, berbicara tentang mimpi dan harapan mereka, saling berbagi tentang dunia yang mereka jelajahi sendiri-sendiri. Waktu berlalu lebih lambat ketika mereka berdua bersama, dan setiap detik adalah kado berharga dari alam semesta.
Namun, seperti dalam setiap cerita cinta, ada rintangan yang harus mereka hadapi. Sangkara dan Mahisa berasal dari keluarga yang berbeda dan bertentangan, memegang keyakinan yang berlawanan. Keluarga Mahisa memercayai harmoni dengan alam, sementara keluarga Sangkara berpegang pada keberhasilan material.
Meskipun perbedaan ini, Sangkara dan Mahisa tidak membiarkan rintangan itu merusak cinta mereka. Mereka memutuskan untuk membuktikan bahwa cinta sejati adalah lebih kuat daripada perbedaan pandangan. Sangkara merangkul kebijaksanaan alam yang ditanamkan oleh Mahisa, sementara Mahisa belajar untuk melihat keragaman dunia melalui mata Sangkara. Bersama-sama, mereka tumbuh lebih kuat dan bijak. Mereka berdua sering mengunjungi danau di bawah pohon willow, di mana mereka merasa kedamaian dan kebersamaan. Di tepi danau, Sangkara menuliskan puisi-puisi tentang cinta mereka yang tumbuh, sementara Mahisa menciptakan anyaman bunga yang menggambarkan keragaman dan keindahan dunia.
Malam yang cerah, saat bulan purnama menerangi danau, Sangkara membawa Mahisa ke tepi air dan ia berkata, "Bulannya indah seperti dirimu, Mahisa. Kamu bagaikan bulan yang menyinari kehidupanku." Mahisa pun terdiam dan kedua pipinya mulai memerah. Kemudian di sana, di bawah cahaya rembulan yang indah, Sangkara kembali membuka hatinya dengan kata-kata yang elok.
"Mahisa, dalam setiap bunga yang kau anyam dan dalam setiap hembusan angin yang kau ciptakan, aku merasa cinta kita tumbuh seperti tumbuhan yang berakar kuat. Aku ingin berjalan bersamamu di bawah sinar matahari dan rembulan serta ingin menulis puisi-puisi cinta kita yang abadi hingga kita dipisahkan oleh takdir semesta.", kata Sangkara sambil ia berlutut di depan wanita tersebut dan kedua tangannya yang kekar memegang kedua tangan berisi jari jemari yang lembut milik Mahisa.
Mahisa tersenyum dan merasa seperti dia melayang di antara bintang-bintang. Dia menggenggam tangan Sangkara dengan lembut dan berkata, "Sangkara, aku ingin menjadi pemandangan yang kau gambarkan dalam puisi-puisimu, menjadi bagian dari cinta yang abadi seperti alam yang mengelilingi kita."
Mereka berdua mengucapkan janji cinta di bawah langit yang indah, di tepi danau yang memantulkan cahaya rembulan sambil berpelukan hangat. Di antara suara gemericik air dan bisikan angin, cinta Sangkara dan Mahisa menjadi bagian tak terpisahkan dari alam yang mereka cintai.
Mereka pun merencanakan pernikahan mereka setelah menjalankan hubungan berpacaran selama 10 tahun. Pernikahan mereka adalah perayaan yang penuh dengan keindahan dan makna. Dekorasi pernikahannya sangat indah yang dihiasi dengan berbagai jenis bunga dan pernikahan yang diisi dengan alunan lagu-lagu yang indah. Di hadapan keluarga dan teman-teman mereka, Sangkara dan Mahisa berjanji untuk mengarungi hidup bersama, menuliskan kisah cinta yang tak terlupakan. Tak lupa, mereka saling menukar cincin di jari manis mereka. Sangkara pun mengakhiri adat pernikahan itu dengan mengecup kening milik Mahisa.
Tak lama kemudian, mereka memutuskan untuk membangun rumah di antara ladang bunga yang mereka cintai, tempat di mana mereka bisa menciptakan dan berkarya bersama. Sederhana, namun bermakna bagi mereka. Di rumah mereka tersebut, puisi-puisi Sangkara dan anyaman-anyaman Mahisa berdampingan, mencerminkan keindahan hubungan mereka yang saling melengkapi. Hari-hari mereka diisi dengan kebahagiaan dan cinta yang mendalam. Mereka terus berjalan bersama di bawah sinar matahari dan rembulan, menuliskan puisi-puisi cinta yang mengalun seperti lagu alam. Di bawah langit yang cerah atau hujan yang lembut, Sangkara dan Mahisa mengalami cinta yang abadi, mekar seperti bunga-bunga yang memenuhi ladang.
Dan begitulah, di antara lembah hijau dan danau yang tenang, cerita cinta Sangkara dan Mahisa terus berlanjut dalam harmoni yang tak tergambarkan. Seperti alam yang selalu mengalir dalam siklus kehidupan, cinta mereka mekar dalam keabadian, menginspirasi setiap jiwa yang menyaksikannya. Ibaratnya, Sangkara merupakan bangunan rumah yang tidak dapat hidup seorang diri tanpa Mahisa yang bagaikan lampu.
Tahun-tahun berlalu, dan Sangkara serta Mahisa mengarungi perjalanan hidup bersama dalam cinta yang mendalam. Bersama-sama, mereka menghadapi tantangan dan kebahagiaan yang datang selalu saling mendukung dalam setiap langkah yang diambil. Rumah mereka penuh dengan cerita-cerita, puisi-puisi, dan anyaman-anyaman yang mencerminkan kehidupan yang penuh makna. Di tengah ladang bunga yang pernah menjadi tempat pertemuan pertama mereka, Sangkara dan Mahisa mengadakan pesta perayaan ulang tahun pernikahan mereka yang ke-20 tahun. Di bawah pohon willow yang sudah tua, mereka berkumpul bersama keluarga dan teman-teman, merayakan perjalanan cinta yang luar biasa. Sangkara berdiri di depan para tamu dengan mata yang penuh cinta membawakan puisi tentang perjalanan hidup mereka bersama.
Ia memulai puisi tersebut dengan menghela nafas agar merasa percaya diri mengucapkannya, lalu berkata,
"Di bawah langit berbintang gemilang,
Kita berdua bersama, tak terpisah jauh.
Dalam senyap malam, cinta kita merayap,
Seperti aliran sungai yang tak berkesudahan.
Mata kita bertemu, seperti dua bintang yang bersatu,
Melipatkan waktu dalam tatapan mesra.
Kau adalah sinar mentari di hatiku yang redup,
Mengisi dunia ku dengan cinta yang abadi.
Di pelukmu, aku merasa selamat dan damai,
Seperti hujan yang turun lembut di tengah malam.
Kita adalah cerita cinta yang takkan pudar,
Seperti bintang-bintang yang bersinar di angkasa.
Seperti janji setia dua jiwa yang terpaut.
Di antara dunia ini yang penuh perubahan,
Kita adalah cinta yang takkan pernah tergantikan.
Dalam sentuhanmu, ada kehangatan yang mengalir,
Seperti sinar bulan yang membelai bunga di malam.
Cinta kita adalah kisah abadi yang takkan berakhir,
Seperti lagu yang terus mengalun dalam hati.
Dalam bisikan malam, kita berbagi rahasia terdalam,
Seperti cerita yang takkan pernah terungkap oleh bintang.
Kita adalah satu, tak terpisahkan oleh waktu,
Dalam cinta yang kita ukir, tiada pernah lekang.
Di setiap detik yang berlalu, cinta kita semakin mendalam,
Seperti anggur tua yang semakin berharga seiring waktu.
Kita adalah kisah cinta yang akan dikenang selamanya,
Dalam lembaran waktu yang takkan pernah usang.
Oh, cinta yang elok, kita akan bersama selamanya,
Seperti janji setia dua jiwa yang terpaut.
Di antara dunia ini yang penuh perubahan,
Kita adalah cinta yang takkan pernah tergantikan."
Kata-kata indahnya menggambarkan perasaan, kenangan, dan harapan yang terjalinmdalam cinta mereka yang abadi. Mahisa tersenyum penuh haru, merasakan bagaimana setiap baris puisi itu mengalun dalam hatinya seperti lagu yang dikenalinya selama ini. Dia berdiri di samping Sangkara, memegang tangannya dengan penuh kehangatan, mengenang setiap saat bahagia dan sulit yang telah mereka lewati. Perlahan-lahan air mata bercucuran di kedua pipi perempuan tersebut, merasakan kata tiap kata yang diucapkan pria tersebut dengan rasa terharu.
Ia pun memeluk Sangkara dengan kedua tangannya yang merangkul tubuh seorang pria tersebut sambil berkata, " Aku terlalu mencintaimu hingga aku susah melepaskan jejak langkahmu. Tetaplah bersamaku hingga kita menjadi debu, Sangkara. Aku sangat mencintaimu dengan sepenuh hati dan jiwaku."
Sangkara pun membalas pelukan tersebut dengan mengelus perlahan helai-helai rambut yang lembut milik Mahisa sambil berkata, "Hidupmu sudah menjadi tanggung jawabku untuk menjagamu selalu, Mahisa. Selama aku bisa, aku akan melakukannya semua demi cinta kita yang abadi. Aku harap pelukan ini tidak akan pernah lepas sebelum semesta berkehendak, ya? Aku akan selalu siap menjadi pelindungmu setiap saat. Aku juga sangat mencintaimu, peri kecilku. " , Sangkara pun mulai melepaskan pelukan itu dan mulai mengecup kening perempuan yang sangat ia cintai itu.
Hari pun berganti, takdir mempertemukan mereka dengan anak-anak yang melengkapi keluarga kecil mereka. Anak-anak itu tumbuh dalam cinta yang kuat, mengamati kedekatan Sangkara dan Mahisa yang selalu saling menghargai dan mendukung satu sama lain. Mereka belajar tentang cinta sejati dari orang tua mereka, sebuah warisan yang tak ternilai.
Di usia yang lebih tua, Sangkara dan Mahisa tetap berjalan bersama, mengisi hari-hari mereka dengan kebahagiaan yang tumbuh dan pengalaman hidup yang penuh makna. Mereka mengunjungi pohon willow yang pernah menyaksikan pertemuan pertama mereka, dan di bawah cahaya matahari terbenam yang lembut, mereka merenung tentang keindahan cinta yang telah mereka bagikan selama bertahun-tahun. Dan sebelum meninggalkan tempat tersebut, mereka meninggalkan kenangan dengan saling memberikan pelukan hangat.
Namun sayangnya, ternyata cinta mereka yang sudah mereka tanam sejak lama telah menjadi layu. Mahisa menghembuskan nafas terakhirnya yakni 3 hari setelah mereka mengunjungi tempat pertemuan pertama mereka. Sangkara pun mulai mencucurkan air mata dengan pikiran yang kosong sambil memeluk raga Mahisa untuk terakhir kalinya. Rasa sedih, kecewa dan susah merelakan orang yang akan kita tinggalkan selamanya memang menyakitkan, itulah yang dirasakan Sangkara. Tidak bisa berkata-kata lagi, Sangkara hanya bisa memeluk bingkai yang berisi foto seorang yang dicintainya, yakni Mahisa. Seorang kakak kandung dari Sangkara terus memberikan pelukan hangat dan kekuatan kepada Sangkara untuk menghadapi situasi yang terjadi.
Sesampainya di tempat peristirahatan selamanya milik Mahisa, Sangkara pun tidak berhenti mencucurkan air mata sambil meletakkan posisi kepala nya di atas tempat peristirahatan tersebut. Takdir semesta selalu nyata dan akan terus berjalan, tetapi ia selalu menyalahkan dirinya bahwa ia gagal menjaga Mahisa selama di dunia. Sangkaraadalah cinta pertama dan akhirnya Mahisa, begitupun sebaliknya.
Rasa kerelaan yang ia tanam untuk melepaskan Mahisa selama-lamanya, belum dapat memenuhi. Sebelum Sangkara kembali pulang, Sangkara mengakhirinya dengan mendoakan dan memohon kepada semesta agar Mahisa mendapatkan sisi yang terbaik di kehidupan selanjutnya bersama Tuhan.
Pada suatu hari yang cerah, ketika matahari bersinar terang di atas ladang bunga yang indah, Sangkara duduk di bawah pohon willow yang telah menjadi saksi setiap langkah cintanya. Di tangannya, ia memegang sebuah buku tua yang berisi puisi-puisi cintayang pernah dituliskan untuk Mahisa.
Dengan mata berkaca-kaca, Sangkara membacakan puisi-puisi itu dengan suara yang gemetar. Meskipun Mahisa sudah tiada, cintanya masih hidup dalam kata-kata yang ia tinggalkan.
Di antara rerumputan yang bergerak oleh angin, Sangkara merasa kehadiran Mahisa yang lembut, seperti hembusan angin yang menyentuh kulitnya. Dan di bawah sinar matahari yang hangat, Sangkara merasakan bahwa cinta mereka adalah sebuah kisah abadi.
Dalam kata-kata dan kenangan, Sangkara dan Mahisa tetap bersatu, mekar seperti bunga-bunga yang merayapi ladang. Dalam harmoni yang abadi, mereka mengajarkan kepada dunia bahwa cinta sejati tak pernah pudar, meskipun waktu berlalu.
0 komentar:
Posting Komentar